Jumat, 12 September 2008

Efektivitas Bantuan Langsung Tunai di Wilayah Perkotaan Kalimantan Selatan

TINTIN ROSTINI dan PRIHATINI ADE MAYVITA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Seberapa efektifkah Bantuan Langsung Tunai ini pada masyarakat miskin di wilayah perkotaan Kalimantan Selatan, Membantu pelaksanaan BLT berlangsung sesuai dengan ketentuan dalam hal sasaran yang dituju, dan tingkat pemenuhan
Penelitian ini merupakan penelitian deskriftif, Pengambilan data dilakukan dengan metade survey. Sampel wilayah adalah kotamadya Banjarmasin dan Kotamadya Banjarbaru, dari tiap kabupaten/kotamadya diambil dua sampel kecamatan yang mewakili dari kabupaten tersebut kemudian diambil dua kelurahan /desa dari setiap kecamatan pantauan. Dari Tiap desa diambil 50 responden rumah tangga miskin yang menerima bantuan subsidi sehingga jumlah keseluruhan sebanyak 400 responden
Propinsi kalimantan Selatan salah satu propinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin relatif cukup banyak yaitu sebanyak 245.948 RTM penerima bantuan langsung tunai menurut klasifikasi kemiskinan. Kota Banjarmasin merupakan Ibukota propinsi Kalimantan Selatan memiliki jumlah rumah tangga miskin penerima BLT sebanyak 39.346 yaitu sebanyak 15, 99 persen dari jumlah rumah tangga miskin propinsi Kalimantan Selatan, sedangkan kotamadya Banjarbaru merupakan kota penyangga Ibukota propinsi memiliki jumlah penerima BLT sebanyak 7.070 yaitu sekitar 2,89 persen jumlah rumah tangga miskin propinsi Kalimantan Selatan
Efektifitas bantuan langsung tunai untuk wilayah perkotaan di Kalimantan Selatan sangat bervariatif , sehingga secara keseluruhan untuk wilayah perkotaan di Kalimantan Selatan efektivitas BLT cukup rendah yaitu hanya berkisar 13,82 persen. untuk kota Banjarmasin sedangkan untuk kotamadya Banjarbaru lebih tinggi sedikit yaitu sebesar 20,01 persen. Hal ini menunjukkan program BLT untuk wilayah perkotaan hanya sedikit sekali efektifnya hal ini kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh biaya hidup yang cukup tinggi di wilayah perkotaan, Jumlah nominal perbulan sebesar Rp 100.000,-/bulan tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga karena tingkat inflasi meningkat dan harga-harga barang kebutuhan pokok pun naik seiring dengan kenaikan harga BBM serta program BLT ini tidak melihat jumlah tanggungan setiap keluarga RTM sehingga efektifitas BLT ini tidak dapat meningkatkan taraf hidup RTM tetapi bersifat sesaat hanya untuk meredam dampak dari kenaikan BBM, hal ini senada dengan pendapat Yusuf (2006) jika BLT hanya mempunyai efektivitas kurang dari 50% purchasing power dan hanya untuk beberapa bulan alias short term effect, sebaliknya kenaikan BBM mempunyai pengaruh untuk long term effect, yaitu rantai ekonomi: biaya produksi, transportasi, dan harga barang di tempat (tentunya berbeda-beda bergantung pada faktor lokasi. Contoh: warung, pasar, supermarket) dan ini mengambil waktu lama.
Program BLT ini untuk wilayah perkotaan manfaatnya kurang dirasakan masyarakat. Dimana untuk Wilayah perkotaan biaya listrik, angkutan dan minyak tanah (barang-barang yang paling terkena dampak naiknya harga BBM) mempunyai pengaruh yang cukup besar, sementara untuk daerah pedesaan pengaruhnya relatif kecil karena semua kebutuhan hidup tidak semua dititik beratkan pada barang -barang yang terkena dampak kenaikan BBM. Sehingga Rumah tangga miskin perkotaan lebih rentan daripada dipedesaan karena orang miskin perkotaan tidak akan mampu mengembalikan daya beli (purchasing power parity) masyarakat, pada keaadan sebelum kenaikan harga BBM.
Melihat Tingkat Pemenuhan dari kedua kota ini rata-rata sebesar 90,05 % dimana kota Banjarbaru tingkat pemenuhan yang tertinggi yaitu sebesar 93,33 %, sedangkan kota Banjarmasin sebesar 86,68%. Tetapi banyak tidak tepat sasaran yang sesuai sasaran yang dituju. program BLT ini masih banyak kekurangannya untuk itu, harus menjadi suatu pengalaman yang berharga untuk segala kebijakan pemerintah di masa depan agar menjadi lebih baik dan lebih menyentuh akar-akar persoalan dari problem kemiskinan itu.
Terlebih lagi data penduduk miskin yang digunakan untuk pemberian bantuan langsung tunai adalah data 2005 sehingga ketepan sasaran pelaksanaaan BLT tahun 2008 ini cukup rendah yaitu rata-rata 58,58 %. Dimana kota Banjarmasin ketepatan sasarannya cukup rendah hanya 50,95 % sedangkan kotamadya Banjarbaru sebesar 66,21 %. Ketidak tepat sasaran ini dikarena ada keluarga miskin yang pindah, pensiunan, tidak layak miskin dan ada pula yang meninggal masih mendapatkan bantuan BLT. Siapa-siapa yang disebut miskin menurut pemerintah tampaknya masih rancu. masih banyak penerima BLT memiliki /menguasai fasilitas yang relatif cukup lengkap seperti sepeda motor, perhiasan, HP, TV. Selain itu juga mempunyai pendapatan yang relatif lebih tinggi. Inilah kelemahan utama yang dapat menimbulkan berbagai kontradiksi saat pelaksanaan. ''Padahal data yang digunakan harus benar-benar akurat. Sehingga banyak Rumah Tangga Miskin yang betul-betul miskin tetapi tidak mendapat bantuan sehingga kaum miskin tetap menjadi miskin dan tambah menjadi miskin. Dan yang kaya menjadi lebih kaya.
Standar dan Ukuran sebuah Rumah tangga miskin adalah sesuatu yang sangat sulit untuk ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya dimensi yang mempengaruhi problem kemiskinan itu, baik secara ekonomi, politik, sosial, budaya maupun religi. Karena itu, usaha-usaha penetapan suatu standar kemiskinan yang kuantitatif adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dibuat. Walaupun begitu ukuran-ukuran yang ditetapkan berdasarkan suatu dimensi kehidupan itu, adalah sangat penting pula. Dimana hal itu dapat menjadi sumber data yang dapat dipergunakan untuk didiskusikan problem kemiskinan secara holistik dan komprehensif, sehingga dapat menjamin adanya tindakan pemberdayaan bagi orang- orang yang miskin. Yang betul-betul miskin.